Selasa, 23 September 2025 – Peringatan Wajib St. Padre Pio dari Pietrelcina – Imam

Rm. Gregorius Virdiawan Mubin SCJ dari Komunitas SCJ Palembang – Indonesia

 
 
 
 

AUDIO RESI:

ANTIFON PEMBUKA – Mazmur 16:5-6

Ya TUHAN, Engkaulah bagian warisanku dan pialaku, Engkau sendirilah yang meneguhkan bagian yang diundikan kepadaku. Tali pengukur jatuh bagiku di tempat-tempat yang permai; ya, milik pusakaku menyenangkan hatiku.

PENGANTAR:

Padre Pio (Pius) lahir di Pietrelcina dekat Benevento (Italia) pada tahun 1887. Dia masuki Ordo Fransiskan Kapusin dan karena kebaikannya kemudian dipromosikan menjadi imam. Ia mengabdikan hidupnya menjadi imam dengan cukup baik di biara San Giovanni Rotondo di Puglia. Dengan doa dan kerendahan hati ia melayani umat dalam nasehat rohani, pengakuan doa, perawatan khusus bagi orang sakit dan papa. Semua dilakukannya untuk pengabdian kepada Kristus yang tersalib. Dia menyelesaikan perjalanan duniawinya pada tanggal 23 September 1968.

DOA KOLEKTAN:

Marilah bedoa: Allah Bapa, sumber segala kehidupan, berkenanlah membantu kami agar dapat berpegang teguh pada putra-Mu, melaksanakan sabda-Nya dan mewujudkan kedamaian-Mu. Sebab Dialah Tuhan ….

BACAAN PERTAMA: Bacaan dari Kitab Ezra 6:7-8.12b.14-20

“Mereka mentahbiskan rumah Allah dan merayakan Paskah.”

Pada waktu itu Darius, raja Persia, memerintahkan kepada para bupati di derah seberang Sungai Efrat, sebagai berikut, “Jangan menghalangi pekerjaan membangun rumah Allah itu. Bupati dan para tua-tua orang Yahudi boleh membangun rumah Allah itu di tempatnya yang semula. Lalu aku telah mengeluarkan perintah tentang apa yang harus kalian perbuat terhadap para tua-tua Yahudi mengenai pembangunan rumah Allah itu. Dengan saksama dan tanpa bertangguh mereka harus diberi biaya dari penghasilan kerajaan yaitu dari upeti daerah seberang Sungai Efrat. Aku, Darius, yang mengeluarkan perintah ini; hendaklah dilakukan dengan saksama.” Maka para tua-tua orang Yahudi melanjutkan pembangunan rumah Tuhan dengan lancar, digerakkan oleh nubuat Nabi Hagai dan Nabi Zakharia bin Ido. Mereka menyelesaikan pembangunan menurut perintah Allah Israel dan menurut perintah Koresh, Darius dan Artahsasta, raja-raja negeri Persia. Maka selesailah rumah itu pada hari yang ketiga bulan Adar, yakni pada tahun yang keenam pemerintahan Raja Darius. Maka orang Israel, para imam, orang-orang Lewi dan orang-orang lain yang pulang dari pembuangan, merayakan pentahbisan rumah Allah dengan sukaria. Untuk pentahbisan rumah Allah itu mereka mempersembahkan lembu jantan seratus ekor, anak domba empat ratus ekor, dan domba jantan dua ratus ekor; juga kambing jantan sebagai kurban penghapus dosa bagi seluruh orang Israel, dua belas ekor, menurut bilangan suku Israel. Mereka juga menempatkan para imam pada golongan-golongannya, dan orang-orang Lewi pada rombongan-rombongannya, untuk melakukan ibadah kepada Allah yang diam di Yerusalem, sesuai dengan yang tertulis dalam Kitab Musa. Dan pada tanggal empat belas bulan pertama mereka yang pulang dari pembuangan itu merayakan Paskah. Para imam dan orang-orang Lewi bersama-sama mentahirkan diri sehingga tahirlah mereka sekalian. Demikianlah mereka menyembelih anak domba Paskah bagi semua orang yang pulang dari pembuangan, dan bagi saudara-saudara mereka, yakni para imam, dan bagi dirinya sendiri.

Demikianlah sabda Tuhan
U. Syukur kepada Allah.

MAZMUR TANGGANGAPAN: Mazmur 122.1-2.4-5.6-7;8-9

Ref. ‘Ku menuju ke altar Allah dengan sukacita.

  1. Ku bersukacita waktu orang berkata kepadaku: Mari kita pergi ke rumah Tuhan. Sekarang kaki kami berdiri di gerbangmu, hai Yerusalem.

  2. Kepadamu suku-suku berziarah, yakni suku-suku Tuhan, untuk bersyukur pada nama Tuhan sesuai dengan peraturan.

  3. Berdoalah agar Yerusalem sejahtera “Damai bagi orang yang mencintai Engkau. “Semoga damai turun atas wilayahmu dan kesentosaan atas purimu.”

  4. Atas nama saudara dan sahabatku kuucapkan selamat kepadamu. Demi bait Tuhan Allah kita kumohonkan bahagia bagimu.

BAIT PENGANTAR INJIL:

U : Alleluya, alleluya, alleluya.
S : (Luk 11:28) Berbahagialah orang yang mendengarkan sabda Tuhan dan melakukannya.

BACAAN INJIL: Inilah Injil Yesus Kristus menurut Lukas 8:19-21

“Ibu dan saudara-saudara-Ku ialah mereka yang mendengarkan sabda Tuhan dan melaksanakannya.”

Pada suatu hari datanglah ibu dan saudara-saudara Yesus hendak bertemu dengan Dia. Tetapi mereka tidak dapat mencapai Dia karena orang banyak. Maka diberitahukan kepada Yesus, “Ibu dan saudara-saudara-Mu ada di luar dan ingin bertemu dengan Dikau.” Tetapi Yesus menjawab, “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka yang mendengarkan sabda Allah dan melaksanakannya.”
Demikianlah Sabda Tuhan
U. Terpujilah Kristus.

RESI DIBAWAKAN OLEH Rm. Gregorius Virdiawan Mubin SCJ

Vivat Cor Iesu per Cor Mariae. Hiduplah Hati Yesus melalui Hati Maria.

Menjadi Keluarga Allah yang Sejati

Saudara sekalian yang direngkuh oleh Hati Yesus, kembali bersama saya Pastor Gregorius Virdi Mubin SCJ, dari komunitas SCJ Wilayah Palembang. Mari sejenak kita merenungkan bacaan Injil hari ini, hari Peringatan Wajib Padre Pio. Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin

Di sebuah panti werdha di Solo, seorang Simbah pernah bercerita begini: “Saya pikir hidup saya akan berakhir dalam kesepian. Tapi di sini, saya menemukan keluarga baru. Kami saling menemani, bernyanyi bersama, bahkan saling menghibur ketika ada yang sakit. Saya merasa dicintai kembali.”

Kisah dan perjumpaan itu amat sederhana, tetapi bagi saya penuh makna. Simbah mengingatkan saya bahwa keluarga sejati tidak harus ditentukan oleh hubungan darah semata, melainkan oleh kasih yang nyata dan perhatian yang tulus. Keluarga sejati lahir dari hati yang mau saling mendengarkan dan saling menopang.

Inilah yang ditegaskan Yesus dalam Injil hari ini. Ketika ibu dan saudara-saudara-Nya datang ingin bertemu dengan-Nya, Yesus berkata: “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka yang mendengarkan Sabda Allah dan melaksanakannya.” Kata-kata ini bukanlah penolakan terhadap Maria atau keluarga biologis-Nya. Sebaliknya, Yesus memperluas arti keluarga: keluarga sejati dalam Kerajaan Allah bukan ditentukan oleh silsilah, melainkan oleh ketaatan pada Sabda.

Saudara-saudari, dalam dunia kita sekarang, kedekatan sering diukur dari status, tradisi, atau ikatan lahiriah. Kita bisa hadir secara fisik di gereja, aktif dalam komunitas, bahkan setia dalam rutinitas rohani. Namun Yesus mengingatkan, itu belum cukup. Yang menjadikan kita sungguh “keluarga Allah” adalah ketika Sabda itu didengarkan dengan hati dan diwujudkan dalam tindakan kasih.

Mendengarkan Sabda Allah bukan hanya soal duduk diam mendengar. Mendengar Sabda berarti membiarkan kita dikuasai-Nya; membuka hati kita, memberi ruang bagi Allah untuk berbicara, lalu berani menjawab dengan tindakan nyata. Menjadi ‘ibu dan saudara’ Yesus artinya kita membiarkan Sabda itu mempengaruhi cara kita memilih, cara kita bekerja, dan cara kita memperlakukan orang lain.

Saudara-saudari terkasih, alangkah indahnya bila orang lain melihat kita bukan hanya pribadi yang rajin beribadah, tetapi mengenali kita sebagai pribadi yang sungguh hidup dari Sabda. Rumah kita menjadi tempat Sabda hadir, langkah kita membawa kasih, dan hati kita menjadi tempat Yesus tinggal. Semoga kita memperoleh hati yang baru: hati seorang saudara, hati seorang ibu, hati seorang murid yang hidup dari Sabda.

DOA PERSIAPAN PERSEMBAHAN: 

Allah Bapa yang kekal dan kuasa, semoga sabda-Mu Kautampakkan dalam roti anggur ini, agar dapat kami santap dan kami minum serta memperoleh kedamaian sejati. Demi Kristus ….

ANTIFON KOMUNI – Bdk. Mat 19:28-29

Aku bekata kepadamu: “Kalian yang meninggalkan segala-galanya dan mengikuti Aku, , akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal.

DOA SESUDAH KOMUNI:

Marilah berdoa: Allah Bapa sumber kehidupan iman, taburkanlah benih sabda-Mu di dalam hati kami dan perkenankanlah tumbuh dan menghasilkan buah demi kebahagiaan semua orang di dunia, demi kedamaian yang sangat kami dambakan. Demi Kristus, ….

DOWNLOAD AUDIO RESI:

St. Padre Pio dari Pietrelcina: Turut menderita bersama Kristus untuk mendoakan sesama

Padre Pio lahir tanggal 2 Mei 1887 di Pietrelcina, sebuah kota kecil di Italia selatan. Orangtuanya bernama Guiseppa dan Gracio Forgione. Ia dibaptis sehari setelah kelahirannya, dengan nama baptis Francesco. Francesco mempunyai seorang kakak laki-laki dan tiga adik perempuan. Keluarga Forgione adalah keluarga yang saleh, yang menempatkan Tuhan di atas segalanya. Mereka menghadiri Misa setiap hari, berdoa Rosario setiap malam dan berpantang tiga kali seminggu. Meskipun buta huruf, orangtua Francesco hafal Kitab Suci dan menceritakan kisah-kisah Kitab Suci kepada anak-anak mereka. Walaupun miskin secara materi, keluarga Forgione sungguh kaya dalam hal iman dan kasih akan Tuhan.

Sejak kanak-kanak, Francesco telah menunjukkan tanda-tanda kesalehan yang luar biasa. Di usia 5 tahun, ia menyerahkan dirinya untuk Tuhan Yesus. Francesco adalah seorang anak pendiam yang gemar berdoa dan ke gereja. Ia dapat melihat dan bercakap-cakap dengan malaikat pelindungnya, juga dengan Tuhan Yesus dan Bunda Maria. Ketika berumur 10 tahun, Francesco mengalami panggilan untuk menjadi seorang imam dan ia menyatakannya kepada kedua orangtuanya. Orangtuanya lalu pergi kepada komunitas Capuchin di Morcone, 13 mil di utara Pietrelcina, untuk menanyakan kesediaan mereka menerima Francesco. Francesco diterima, namun sebelumnya harus menempuh pendidikan lebih tinggi di sekolah umum. Karena itu, ayahnya pergi ke Amerika untuk bekerja, agar dapat membiayai guru untuk mendidik Francesco. Akhirnya di usia 15 tahun, Francesco masuk biara Capuchin. Ia mengambil nama Pio, untuk menghormati St. Pius V, Santo pelindung Pietrelcina. Ia dipanggil dengan sebutan Fratello (bruder), sampai  ditahbiskan menjadi imam.

Padre Pio ditahbiskan tanggal 10 Agustus 1910. Perayaan Ekaristi baginya adalah pusat kehidupannya. Sering dalam perayaan Misa yang dipimpinnya, ia masuk dalam keheningan kontemplatif di berbagai bagiannya, sehingga Misa tersebut berakhir setelah beberapa jam. Betapa dalamnya ia menghidupi Kisah Sengsara Kristus. Umat sangat terkesan akan kesalehannya, dan banyak orang berdatangan untuk meminta nasehatnya.

Selanjutnya, karena kesehatan Padre Pio yang kurang baik, ia dikirim pulang ke rumahnya dari tahun 1911 sampai 1916. Namun demikian, Padre Pio tetap mempertahankan kehidupan membiara, tetap mempersembahkan Misa dan mengajar di sekolah. Kesehatan Padre Pio tidaklah baik di sepanjang hidupnya. Tidak diketahui penyebab dari penyakit yang panjang yang dialami oleh Padre Pio, namun ia mempersembahkan semua penderitaannya kepada Tuhan sebagai kurban silih bagi pertobatan jiwa-jiwa.

Tanggal 4 September 1916, Padre Pio ditugaskan di San Giovanni Rotondo, yang terletak di pegunungan Gargano. Ia bergabung dalam komunitas Capuchin, Our Lady of Grace. Padre Pio mempunyai banyak anak rohani. Ia memberi lima syarat untuk pertumbuhan rohani, yaitu: menerima Sakramen Pengakuan dosa seminggu sekali, setiap hari menerima Komuni, membaca bacaan rohani, melakukan meditasi dan pemeriksaan batin. Moto Padre Pio adalah, “Berdoa, berharap, dan jangan khawatir”. Padre Pio dikenal sebagai seorang pendoa. Doanya sangat sederhana, namun didoakan nyaris tanpa henti. Ia menyukai doa Rosario dan menganjurkan anak-anak rohaninya untuk berdoa rosario. Ketika ditanya apakah warisan yang ingin ditinggalkannya kepada mereka, jawabnya sederhana, “Berdoalah Rosario.”

Di bulan Juli 1918, Paus Benediktus XV meminta semua orang Kristen berdoa bagi berakhirnya Perang Dunia. Padre Pio mempersembahkan dirinya sebagai silih untuk intensi tersebut. Beberapa hari kemudian—tanggal 5-7 Agustus—Padre Pio mendapat suatu penglihatan. Kristus menampakkan diri dengan lambung-Nya yang terluka. Setelah itu, Padre Pio memperoleh luka fisik di lambungnya. Padre Pio mengalami pengalaman kesatuan kasih dengan Kristus yang sedemikian mendalam, sehingga ia turut mengalami luka-luka serupa yang dialami oleh Kristus. Beberapa minggu kemudian, yaitu tanggal 20 September 1918, ketika sedang berdoa di balkon koor di gerejanya, penglihatan akan Kristus itu kembali muncul. Padre Pio mengalami suka cita tak terkatakan dari pengalaman persatuannya dengan Kristus. Setelah pengalaman itu, Padre Pio menerima stigmata, yaitu lima luka-luka Kristus. Ia menjadi imam pertama yang memperoleh stigmata dalam sejarah Gereja. Dengan kepasrahan dan ketenangan, ia menanggung sakit luka-luka di tangan, kaki, dan lambungnya, yang bertahan sampai sekitar 50 tahun.

Tak lama kemudian, tersiarlah kabar tentang stigmata Padre Pio. Orang-orang berdatangan, termasuk para dokter, untuk memeriksa luka-luka Padre Pio. Padre Pio tidak tertarik kepada hasil pemeriksaan para dokter. Ia menerima luka-luka itu sebagai hadiah dari Tuhan, walaupun ia sebenarnya memilih untuk dapat mengambil bagian dalam sengsara Kristus tanpa diketahui oleh orang lain. Namun Tuhan menggunakan pengalaman Padre Pio itu untuk memberi harapan kepada banyak orang setelah perang. Tuhan menggunakan Padre Pio sebagai alat-Nya untuk memimpin banyak orang kembali kepadaNya. Karunia-karunia rohani Padre Pio—yaitu stigmata, nubuat, menyembuhkan, mendatangkan mukjizat, mengetahui isi hati orang, berbicara dalam bahasa baru yang tak pernah dipelajarinya, mengeluarkan bau harum, bilokasi—adalah tanda kehadiran Tuhan di tengah umat-Nya. Kehidupan biara di gereja Our Lady of Grace berjalan seputar pelayanan Padre Pio. Para imam menangani surat menyurat dan memberi sakramen Pengakuan Dosa. San Giovanni Rotondo pun menjadi tempat ziarah. Padre Pio juga aktif bekerja selama 19 jam sehari: memimpin Misa, memberi Sakramen Pengakuan Dosa, dan menangani surat menyurat. Ia hanya tidur kurang dari 2 jam setiap hari. Di biara, Padre Pio menghidupi spiritualitas Fransiskan, dalam kemiskinan dan ketidakterikatan dengan diri sendiri, harta milik dan kenyamanan. Ia menyukai kebajikan kemurnian dan selalu bersahaja. Sepanjang hidupnya ia mempertobatkan ribuan orang untuk kembali kepada Tuhan.

Namun rupanya ada sejumlah orang yang tidak menyukai perkembangan pengaruh rohani Padre Pio kepada umat. Mereka mengajukan tuduhan terhadapnya ke pihak Tahta Suci di Vatikan sehingga  di bulan Juni 1922, diberlakukan sejumlah pembatasan terhadap pelayanan Padre Pio. Tapi syukurlah, di tahun 1933, Paus Pius XI mengangkat semua pembatasan itu, dan mengakui bahwa ia telah menerima informasi yang salah tentang Padre Pio. Setelah itu sedikit demi sedikit Padre Pio kembali diizinkan untuk melayani umat. Ia diperbolehkan kembali memberikan Sakramen Pengakuan Dosa dan berkhotbah. Di tahun 1939 Paus Pius XII mendorong umat untuk mengunjungi Padre Pio, dan karena itu umat kembali berdatangan untuk berziarah ke sana.

Tahun 1940, Padre Pio mulai merintis pembangunan rumah sakit yang dinamainya “Rumah untuk mengangkat penderitaan”. Sedikit demi sedikit ia menerima sumbangan dana dari berbagai pihak, sehingga bangunan tersebut akhirnya dapat berdiri di tahun 1956. Di tahun 1960, kesehatan Padre Pio semakin menurun. Namun ia tetap memimpin Misa setiap hari dan memberikan Sakramen Pengakuan Dosa. Di peringatan ke-50 tahun stigmatanya— yaitu 20 September 1968—Padre Pio mempersembahkan Misa, berdoa Rosario bersama, dan memberi berkat Sakramen Mahakudus. Sesaat setelah tengah malam, di tanggal 23 September di tahun yang sama, Padre Pio memanggil imam superiornya dan melakukan pengakuan dosanya yang terakhir. Ia memperbaharui kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatannya. Pukul 2.30, Padre Pio wafat. Seperti dinubuatkannya sendiri, Padre Pio mengalami sakit sepanjang hidupnya, namun wafat dalam keadaan sehat, sembuh dari luka-luka stigmatanya. Padre Pio wafat di usia 81 tahun. Kata-kata terakhirnya adalah “Yesus, Maria”, yang diulanginya terus sampai ajal menjemputnya.

Tanggal 26 September 1968, lebih dari seratus ribu orang datang ke San Giovanni Rotondo untuk memberi penghormatan terakhir kepada Padre Pio. Ia dimakamkan di lantai bawah gereja Our Lady of Grace. Ia dikanonisasikan sebagai Santo oleh St. Paus Yohanes Paulus II tanggal 16 Juni 2002. Keseluruhan hidup Padre Pio menggenapi apa yang ditulis Rasul Paulus, “…Aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat” (Kol 1:24). 

Sumber: https://www.katolisitas.org/unit/st-padre-pio-dari-pietrelcina-turut-menderita-bersama-kristus-untuk-mendoakan-sesama/

No Comments

Leave a Comment